Efek Domino Perang Rusia-Ukraina
Perang antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung beberapa pekan terakhir ini. Walaupun perang belum berlangsung lama, namun dampak yang ditimbulkannya sudah sangat dahsyat. Masyarakat dunia yang diwakili oleh pemerintahnya masingmasing telah menyuarakan penolakan terhadap perang tersebut dan meminta para pihak yang terlibat perang agar segera mengakhirinya.
Rasionalitas di balik ekspresi tersebut sangat jelas, perang mengakibatkan dampak yang luar biasa ke berbagai sektor. Sejarah umat manusia yang mengalami masa-masa peperangan di masa lalu telah menjadi bukti empiris bahwa penderitaan yang diakibatkan dari suatu peperangan memang sangat luar biasa.
Perang melahirkan krisis kemanusiaan berupa korban manusia yang meninggal, dan juga banyak penduduk Ukraina yang mengungsi dari area perang menuju ke negara-negara lain yang dianggap lebih aman.
Saat ini belum bisa diramalkan kapan perang berakhir, meskipun sudah dilakukan perundingan antarpihak yang berseteru.
Dalam perkembangannya, perang antara Rusia dan Ukraina bukan hanya menimbulkan krisis kemanusiaan maupun kehancuran infrastruktur fisik, tetapi telah melebar ke berbagai aspek lain dari kehidupan manusia.
Pertempuran kedua negara tersebut bukan hanya berupa perang militer secara fisik di lapangan antara kedua pihak, namun juga menimbulkan berbagai efek domino yang berkepanjangan. Efek domino tersebut justru bukan ha nya merugikan Rusia dan Ukraina, melainkan memberikan dampak yang sangat besar bagi negara-negara lain yang tidak terlibat dalam peperangan.
Semakin lama perang berlangsung, semakin besar dampak yang akan ditanggung dan dirasakan oleh masyarakat internasional. Kondisi tersebut sangat masuk akal, mengingat Rusia dan Ukraina memiliki peran besar dalam tatanan politik dan ekonomi global, sehingga negara-negara lain akan terkena imbas akibat perang yang dilakukan oleh kedua negara tersebut.
Krisis Energi
Ketakutan para ekonom mengenai perang Rusia dan Ukraina terhadap ekonomi global, secara pelan-pelan tetapi pasti sudah mulai terlihat. Alarm perang ekonomi antara negara-negara yang yang menentang perang dengan Rusia sudah sangat jelas. Negaranegara Barat telah menjatuhkan sanksi ekonomi yang sangat berat terhadap pemerintah Rusia, dalam berbagai wujud.
Sanksi-sanksi ekonomi tersebut antara lain, i). larangan membeli gas alam, minyak bumi dan batu bara dari Rusia, ii). melarang pengusaha dan lembaga jasa keuangan dari negara-negara barat untuk melakukan transaksi yang berhubungan dengan bank sentral Rusia maupun industri keuangan mereka, dan iii). melarang bank-bank Rusia untuk berpartisipasi dalam sistem pembayaran global yang dikelola oleh SWIFT.
Kemudian, iv). beberapa pelaku usaha dan korporasi besar, seperti CocaCola, McDonald’s, Star buck, Ikea, Ford, hingga Apple, membatasi atau menghentikan sementara kegiatan mereka di negara tersebut, serta v). memperketat dan membatasi eks por teknologi canggih ke negara tersebut, dan sanksi-sanksi lainnya. Meskipun terlihat sanksi ekonomi tersebut hanya ditujukan= kepada Rusia, tetapi kenyataannya berbicara lain. Sanksi ekono mi tersebut ternyata juga mem berikan efek kejutan balik ke negara-negara lain yang memberikan= sanksi. Larangan impor gas alam, minyak mentah dan batu bara dari Rusia, menjadi sebuah bumerang yang mendorong munculnya krisis energi baru di tahun 2022 ini.
Isolasi secara tiba-tiba terhadap ekonomi Rusia, khususnya dengan memboikot produk-produk energi mereka, melahirkan ancaman baru bagi kelangsungan sektor bisnis dan industri di berbagai negara.
Rusia adalah negara penghasil sumber energi terbesar kedua di dunia, di mana ekspor gas alam, minyak mentah maupun batu bara mereka telah menjadi lokomotif ekonomi di negara-negara Barat. Banyak sekali mesin-mesin ekonomi di negara-negara Eropa yang sangat bergantung pada suplai energi dari Rusia. Dengan embargo tersebut menjadikan pasokan dan aliran energi untuk menjalankan mesin-mesin industri menjadi terdisrupsi oleh kelangkaan energi.
Penghentian secara mendadak suplai energi telah menyebabkan harga minyak mentah mengalami lonjakan dari rata-rata US$ 90-an per barel sebelum invasi, terus meningkat hingga sempat me nyen tuh angka US$ 130 per ba rel setelah invasi dilakukan, menjadikan rekor harga tertinggi semenjak 14 tahun yang lalu. Demikian halnya dengan harga batu bara yang terus meroket menjadi rata-rata di atas US$ 200 per ton, mengikuti kelangkaan suplai yang dialami oleh negaranegara Barat.
Efek dominonya adalah industri tidak memiliki kesiapan mencari alternatif pengganti sumber energi, sehingga produsen terpaksa menaikkan harga, yang pada akhirnya kenaikan ongkos tersebut dibebankan kepada konsumen. Meningkatnya kebutuhan suplai energi sebetulnya sudah mu lai muncul pada akhir tahun 2021, setelah ekonomi negarane gara maju mengalami pemulihan yang lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kondisi itulah yang menyebabkan meningkatnya konsumsi barang dan jasa, sementara produsen tidak siap memenuhi kebutuhan tersebut. Situasi perang yang terus berkepanjangan, menjadi momok menakutkan bagi negara-negara yang bergantung pada sumber energi dari Rusia. Oleh sebab itu, kita sangat berharap krisis energi global, seperti yang pernah ter jadi di tahun 1973-1974, tidak terulang kembali.
Menghambat Pemulihan Ekonomi
Perang yang masih berlangsung juga memberikan dampak turunan terhadap pertumbuhan ekonomi global yang baru saja memasuki zona pemulihan. Dengan kebijakan ekonomi global yang tepat, resesi ekonomi yang terjadi selama tahun 2020 telah selesai dan memasuki zona pemulihan pada tahun 2021.
Bahkan beberapa bank sentral sudah bersiap- siap menaikkan suku bunga acuan mereka untuk menahan aliran likuiditas yang sangat ber lebihan di pasar. Likuiditas yang sangat berlebihan tersebut dapat mendorong kenaikan inflasi, yang justru menjadi momok menakutkan bagi semua negara. Langkah pemulihan ekonomi yang sudah terlihat di depan mata bisa kembali mengalami hambatan jika krisis energi yang berkelanjutan tidak bisa diatasi.
Situasi tersebut akan berimbas pada kenaikan harga-harga di pasar, bukan sekadar harga energi, tetapi juga harga pangan yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Akibatnya hampir semua negara sekarang mulai ber siapsiap melakukan proteksi untuk melindungi kepentingan ekonomi negaranya masing-masing.
Dampak ekonomi lain yang muncul akibat perang adalah terjadinya disrupsi di pasar keuangan global. Indeks harga saham di berbagai pasar bursa mengalami volatilitas dan fluktuasi yang mengganggu keyakinan investor mengenai prospek ekonomi ke depan.
Seandainya sistem mo neter, keuangan dan ekonomi Rusia mengalami keruntuhan akibat sanksi dari negara-negara Barat, bukan sesuatu yang mustahil akan memberikan dampak berantai yang relatif besar bagi negara-negara lain. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar dampaknya terhadap pemulihan ekonomi ne gara-negara maju maupun negara- negara berkembang yang sekarang sedang berlangsung?
Apakah dampak tersebut dapat dimitigasi dalam tempo yang cepat, mengingat hampir semua negara telah mengalami defisit fiskal yang cukup dalam guna membiayai krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19?
Para ekonom berharap, jangan sampai dampak perang regional tersebut menjadi penghalang terhadap pemulihan ekonomi global yang saat ini masih berjalan. Pertumbuhan ekonomi global yang pada awal tahun 2022 diramalkan berada pada kisaran 4,1% – 4,4%, diprediksi akan mengalami koreksi sebagai akibat dari dampak perang tersebut.
Dampak bagi Indonesia
Dari kaca mata ekonomi, dampak dari perang tersebut agak sulit kalau dikatakan menguntungkan atau merugikan posisi Indonesia. Dampak perang secara tidak langsung membawa pengaruh yang tidak kecil bagi perekonomian Indonesia.
Dalam beberapa hal Indonesia mampu menjadi winner sebagai akibat dari perang tersebut. Kenaikan harga komoditas dalam bentuk minyak mentah dan batu bara memberikan pemasukan yang lebih besar dalam bentuk valuta asing.
Sebagai gambaran di dalam APBN 2022, asumsi harga minyak dipatok sekitar US$ 63 per barel, sehingga kenaikan harga minyak akan memberikan windfall yang cukup besar bagi pemerintah. Namun di sisi lainnya, Indonesia juga menjadi loser karena biaya impor BBM juga akan meningkat dan akan langsung dirasakan oleh pelaku usaha maupun masyarakat luas. Kenaikan harga BBM juga memiliki implikasi luas terhadap kegiatan di sektor lain, seperti transportasi maupun biaya produksi.
Di samping itu, kenaikan harga BBM akan memberatkan pemerintah karena setiap kenaikan US$ 1 harga minyak mentah, akan menambah subsidi LPG sebesar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah Rp 49 miliar, subsidi listrik Rp 295 miliar, dan subsidi serta kompensasi BBM sekitar Rp 2,65 triliun.
Tidak ada salahnya dari sekarang pemerintah sudah mulai menyiapkan contigency plan sebagai persiapan menghadapi memburuknya kondisi ekonomi global akibat perang Rusia dan Ukraina. Kepentingan dan kelangsungan ekonomi Indonesia yang sudah berada di jalur pemulihan perlu terus dipertahankan sebagai pri oritas utama. Jangan sampai kondisi ekonomi Indonesia yang sudah menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang menjanjikan pada akhir tahun 2021 mengalami pelambatan dan gangguan.
Target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran angka 5% pada akhir tahun 2022 harus bisa diraih dengan menyiapkan berbagai bauran ke bijakan ekonomi makro, serta kesiapan mitigasi risikonya apabila perang tersebut masih terus berlangsung untuk jangka waktu yang lama.
*) Kepala OJK Institute dan penulis buku “Mengenal Ekonomi Digital”. (Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis).