Dari Covid-19 Menjadi Lemah Jantung Ekonomi
Di pengujung tahun 2022, banyak sekali pendapat pengamat baik melalui opini di media massa, wawancara, maupun diskusi para pengusaha, yang memperingatkan badai ekonomi yang akan makin kencang melanda di tahun 2023.
Benih badai telah terbentuk sejak 2020, saat bantuan sosial banyak digelontorkan pemerintahan di dunia sebagai bagian langkah penanganan dampak Covid-19 terhadap masyarakatnya. Bantuan sosial banyak berupa uang tunai kepada masyarakat kelas bawah agar bisa melewati masa kesulitan ekonomi saat pandemi, akibat kebijakan penguncian negara/wilayah atau pembatasan mobilitas manusia yang berdampak pada operasi pabrik terhenti dan logistik tersendat parah. Negara Amerika Serikat saja telah mengucurkan US$ 4,55 triliun bantuan keuangan (https://www.usaspending.gov/disaster/covid-19?publicLaw=all), demikian pula negara-negara di seluruh dunia –kecuali Tiongkok mungkin– melakukan kebijakan yang sama.
Ketika Covid-19 mereda, lebih dikarenakan varian virusnya menjadi tidak ganas lagi, maka pada semester II-2022 industri telah bangkit kembali, pasar kembali bergairah, dan orang kembali membeli barang-barang. Masalahnya, banyak masyarakat, terutama di Amerika, yang telah keenakan menerima bantuan sosial terkait penanganan Covid-19 dengan tanpa kerja. Ketika industri membutuhkan tenaga kerja untuk menggerakkan pabrik, para pegawai hanya mau bekerja jika gajinya besar. Akibatnya harga produksi juga menjadi naik. Di sisi lain, karena masih punya uang bantuan sosial, mereka yang tidak bekerja pun tetap belanja, sehingga barang-barang yang harganya naik pun tetap dibeli.
Masalah lain pun timbul di awal 2022, pada bulan Februari 2022 pecah perang antara Rusia dan Ukraina. Geopolitik bermain. Amerika Serikat menjatuhkan sanksi dengan memboikot produk Rusia, yang membuat suplai minyak bumi Rusia tiba-tiba distop, sehingga harga bahan bakar di pasar dunia melonjak. Tentunya harga barang-barang makin mahal lagi.
Tindakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) adalah sejak Maret 2022 mulai menaikkan suku bunga kebijakan (Fed fund rate/FFR) untuk meredam inflasi yang tercatat 7,9% pada Februari 2022, yang menunjukkan tren menaik. Selama tahun 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak tujuh kali, dari 0,08% pada Februari 2022, menjadi 4,50% pada Desember 2022.
Tindakan demikian diharapkan bisa menurunkan inflasi yang dianggap jika tidak dikendalikan akan berbahaya terhadap ekonomi makro Amerika Serikat, dengan mekanisme menurunkan tingkat permintaan pasar. Walaupun jika dianalisis, penyebab inflasi adalah lebih pada masalah di rantai pasok dan masalah lain, bukan tingkat permintaan pasar yang berlebihan. Namun The Fed tetap terus menggunakan jurus menaikkan suku bunga yang diulang-ulang sampai tujuh kali dalam periode sepuluh bulan pada 2022.
Saya pun awalnya heran, mengapa Amerika Serikat yang menjadi kiblat kita belajar ilmu makroekonomi karena di sana lah para ahlinya berkumpul, menerapkan cara ini, yang menurut saya salah obat. Sebagai seorang dokter, saya melihat ini bagaikan dokter yang menyuntikkan obat asma terus menerus kepada pasien yang sesak napas karena asma yang disebabkan alergi terhadap debu di kamarnya. Obatnya memang untuk asma, namun dalam dosis dan durasi yang membahayakan jantung pasien. Seharusnya yang dilakukan adalah membersihkan kamar pasien dari debu.
Namun, setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, saya pun mengambil kesimpulan bahwa The Fed melakukan hal itu karena itulah obat yang dipunyai oleh dokter The Fed yang relevan untuk pasien asma. The Fed tidak punya akses dan kemampuan membersihkan kamar pasien. Itu urusan pemerintah Amerika Serikat secara keseluruhan. Protokol The Fed adalah menyuntikkan obat suku bunga terus selama gejala asma inflasi masih ada, sambil menunggu pemerintah Amerika Serikat membersihkan debu penyebab asma. As simple as that.
Bagaimana kalau efek obat tersebut membuat jantung ekonomi menjadi lemah? Sekali lagi, The Fed cuma punya obat menaikkan suku bunga. Satu-satunya yang bisa dilakukan, dosis obat dinaikkan dengan dosis tertakar, namun tetap berbahaya terhadap jantung ekonomi. Terbukti efek terhadap jantung ekonomi tersebut sudah terlihat dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang melambat dari 5,7% pada 2021 menjadi 1,9% tahun 2022 (perkiraan, https://www.conference-board.org/research/us-forecast) dan 70% ahli ekonomi meramalkan Amerika Serikat akan mengalami resesi pada 2023.
Ada pepatah mengatakan, “When the US sneezes, the world catches a cold,” yang berarti bahwa penyakit ekonomi yang mengenai Amerika Serikat akan menular kepada seluruh dunia. Sampai saat ini, pernyataan itu benar. Amerika merupakan negara adidaya dengan tingkat konsumsi yang besar sekali, yang menjadi sasaran dari semua negara di dunia. Amerika Serikat mengonsumsi sebanyak sepertiga dari konsumsi masyarakat dunia (https://www.enterprisesg.gov.sg/overseas-markets/north-latin-america/united-states-of-america/market-profile). Bayangkan jika sang raksasa yang makannya banyak ini berhenti makan karena jantungnya lemah kebanyakan disuntik obat asma, ibarat semua restoran akan kehilangan pelanggan dalam nilai uang yang besar. Selanjutnya para restoran ini juga akan mengurangi pembelian kepada pemasok mereka dalam jumlah besar pula. Demikianlah pertumbuhan ekonomi negatif berputar di seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya Indonesia tidak lepas dari pengaruh konsumsi Amerika Serikat juga. Oleh karena itu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) telah menyatakan bahwa ada tiga industri besar padat karya yang sedang dan terus akan mengalami kesulitan besar di tahun 2023, yaitu industri tekstil, alas kaki, dan furnitur, yang pasar terbesarnya adalah ekspor. Hal ini berdampak pada hilangnya pekerjaan yang cukup besar. (https://www.kompas.tv/article/361201/bukan-cuma-startup-apindo-prediksi-phk-masih-akan-terjadi-di-3-industri-ini-pada-2023).
Namun secara keseluruhan, ekonomi Indonesia diprediksi masih tumbuh di kisaran 4,7%-5,3% menurut Bank Indonesia. Penyebabnya adalah karena Indonesia masih baik dalam ekspor, terutama ekspor minyak sawit dan hasil pertambangan. Selain itu pertumbuhan konsumsi domestik juga cukup menunjang, selain investasi dan pariwisata. (https://investor.id/business/315299/ekonomi-2023-diprediksi-tumbuh-baik-berikut-penopangnya).
Kampanye Pemilihan Presiden juga akan menjadi penolong ekonomi Indonesia di tahun 2023, karena akan mendorong konsumsi dalam negeri, serta masuknya uang simpanan tabungan para kontestan ke dalam perputaran ekonomi untuk digunakan sebagai biaya kampanye.
Jadi, Indonesia tidak akan mengalami resesi di tahun 2023. Namun kita perlu tetap waspada karena adanya sektor-sektor yang terdampak badai ekonomi global, yang bisa merembet ke sektor lain. Perbankan, misalnya, rentan terhadap gagal bayar oleh pelaku industri yang terkena dampak badai ekonomi global tersebut. Di sisi lain, eksportir barang dan jasa di negara berkembang lain yang juga kehilangan pasar besar di Amerika Serikat, akan mencoba mengalihkan ekspornya ke Indonesia yang penduduknya banyak dan masih besar konsumsinya. Hal ini akan makin menambah tekanan kepada pelaku industri domestik yang bukan terbatas kepada industri tertentu.
Selain itu, perubahan geopolitik serta dampaknya bisa tiba-tiba muncul tanpa diperkirakan, selain faktor bencana alam atau pandemi baru yang juga tidak bisa diramalkan. Inflasi yang diperkirakan Indef akan berada di kisaran 6-7% di tahun 2023, bisa menurunkan daya beli masyarakat, yang juga bisa membawa pertumbuhan ekonomi kurang daripada yang diperkirakan. Kenaikan suku bunga BI tentunya akan mendorong suku bunga komersial bank juga meningkat, sehingga barang-barang yang umumnya dibeli dengan kredit seperti perumahan dan mobil juga akan mengalami perlambatan.
Bagaimana pun, kita tidak bisa menganggap enteng efek menular dari badai ekonomi global. Sebagai contoh, beberapa hari yang lalu Amerika Serikat mengalami badai musim dingin ekstrim yang membuat temperatur turun drastis, terutama di negara bagian yang terletak di atas. Makin ke bawah makin ringan dampaknya, dan yang paling ringan terdampak adalah negara bagian Florida. Orang yang ingin terbang ke Florida tentunya merasa aman. Namun ternyata yang terjadi adalah kekacauan penerbangan di negara bagian lain merembet ke penerbangan menuju Florida. Sehingga mereka yang tadinya merasa aman, tiba-tiba terkejut karena penerbangannya ditunda tanpa kejelasan atau dibatalkan.
Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana cara agar industri yang terkena dampak badai ekonomi global dapat terus bertahan dan bahkan bertumbuh di tahun 2023. Hal ini akan saya bahas di bagian kedua dari artikel “Cara Sukses Melewati Badai Ekonomi 2023”, yang akan menyusul berikutnya. **
sumber: https://investor.id/opinion/317842/dari-covid19-menjadi-lemah-jantung-ekonomi